IMEDIACYBER | Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi salah satu agenda mendesak pembangunan hukum di Indonesia dan demi menyempurnakan sistem pidana di Indonesia yang saat ini masih menggunakan warisan kolonial Belanda atau sudah berumur lebih dari 100 tahun. Namun, Rancangan KUHP (RKUHP) yang ditargetkan bakal dibawa ke paripurna untuk disahkan menjadi Undang-undang (UU) sebelum masa reses anggota dewan pada Juli 2022 kini menuai polemik di masyarakat karena dinilai kurang transparan dan masih ada pasal yang dinilai kontroversial terutama terkait kebebasan berpendapat.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, revisi KUHP adalah sebuah keniscayaan mengingat sistem pidana di Indonesia yang saat ini masih menggunakan warisan kolonial Belanda atau berumur lebih dari seabad sudah usang dan tidak mampu lagi menjawab berbagai kompleksitas yang terjadi di masyarakat saat ini. Oleh karena akan menjadi payung besar hukum pidana baru yang sudah dinantikan berpuluh-puluh tahun, revisi KUHP tidak harus sempurna dari sisi prosesnya terutama partisipasi publik tetapi juga substansinya yaitu pasal-pasal yang terkandung di dalamnya.
“Komitmen Pemerintah dan Parlemen untuk segera menghasilkan payung besar hukum pidana baru ini patut kita apresiasi. Undang-Undang KUHP yang baru ini akan menjadi peradaban baru hukum pidana di Indonesia. Oleh karena begitu pentingnya Undang-Undang KUHP bagi bangsa dan negara, jangan sampai nasibnya sama seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang dihujani gugatan ke MK setelah disahkan dan oleh MK dinyatakan cacat formil karena dalam proses pembentukannya tidak melibatkan partisipasi publik yang maksimal atau bermakna sebagai salah satu syarat pembentukan undang-undang yang baik. Buka partisipasi publik seluas-luasnya agar RKUHP tidak bernasib sama seperti Undang-Undang Cipta Kerja,” ujar Fahira Idris dalam keterangan tertulisnya (17/6/2022).
Partisipasi masyarakat yang bermakna terhadap rancangan undang-undang (RUU), lanjut Fahira, setidaknya dilakukan seluas-luasnya saat pengajuan RUU, saat pembahasan bersama antara DPR dan Presiden/Pemerintah, dan saat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden/Pemerintah. Dalam ruang partisipasi publik tersebut bisa disebut bermakna jika dapat dipastikan hak publik untuk didengarkan dan dipertimbangkan pendapatnya dipenuhi.
Selain itu, partisipasi yang bermakna juga harus memastikan terpenuhinya hak publik untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
“Undang-Undang KUHP baru yang akan menjadi peradaban baru hukum pidana di Indonesia memang sedapat mungkin harus sempurna baik dari proses maupun pasal-pasalnya. Oleh karena itu, partisipasi publik yang bermakna menjadi sesuatu yang harus dipenuhi agar semua pasal di dalamnya juga bermakna dan mempunyai argumentasi yang kuat. Saya berharap setelah RKUHP disahkan tidak ada yang melakukan legislative review apalagi judicial review karena partisipasi publik sudah dibuka selebar-lebarnya,” pungkas Senator Jakarta ini.
[ary]